Minggu, 03 Februari 2013

Makalah Agama Dan Kebudayaan


MAKALAH AGAMA DAN KEBUDAYAAN



 Dibuat oleh :

ADRIAN SUGIARTO (672012104)


2012
SALATIGA

Latar Belakang
Di Negeri Indonesia ini, banyak sekali budaya dan kebiasaan yang masih terlepas dari Agama-agama yang ada. Contoh yang saya dapatkan yaitu, masyarakat KEI yang bertempat di Daerah Maluku. Maksud saya mengangkat topic tentang masyarakat Kei karena, kebudayaan dan letak dari masyarakat Kei masih sangat belum di kenal oleh publik.
Dalam kesempatan ini, saya akan membuat makalah tentang kehidupan masyarakat Kei yang masih menganut agama adat dan pandangan Kristen terhadap kehidupan masyarakat Kei

Pendahuluan
Realitas problematis masyarakat Maluku dengan adanya konflik kemanusiaan (1999) sungguh menghantar setiap orang pada sikap saling membenci. Kehadiran kelompok lain hanya sebagai acaman. Masyarakat mengalami tantangan yang berat serta berada dalam situasi yang tidak mengenakan. Meskipun demikian, konflik di Maluku khususnya di Kei dapat dengan cepat berakhir, dibanding daerah-daerah lain. Salah satu indikasi yang cukup kuat dalam mendukung upaya rekonsiliasi tersebut adalah pemahaman masyarakat Kei akan kearifan lokalnya, yang tercermin dalam hukum adat Larwul Ngabal, selan itu, juga adanya peran penting dari agama, dan pemerintah. Kerjasama antara tiga institusi, yakni, adat, agama dan pemerintah, adalah merupakan bagian dari elaborasi kearifan lokal masyarakat Kei. Dalam realitas kehidupan masyarakat Kei adat mendapat tempat pertama, sebab sebelum adanya pemerintah dan agama, adat dan lembaga adat atau budaya orang Kei sudah lebih dahulu berperan.

Kristen Sampai ke Maluku
Kekristenan sampai ke Maluku  pada saat  Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) berkuasa pada abad 17 dan 18. Kehadiran para pendeta dan ziekentrooster bukan saja dimanfaatkan oleh gereja untuk melayani pegawai VOC tetapi juga untuk memelihara orang-orang Kristen Ambon yang sebelumnya menganut agama Katolik Roma yang kemudian di-Protestankan ketika penguasa VOC mengambil alih kekuasaan di Ambon dari tangan Portugis pada tahun 1605. Dan, sejak tahun 1635 diadakan pekabaran Injil ke pulau Kei, kemudian Aru, Tanimbar dan pulau-pulau Selatan Daya (Babar, Wetar, Leti, dst) dengan memakai tenaga guru. Sampai dengan abad ke-18 Kekristen-an telah diterima oleh orang-orang Maluku yang terhimpun dalam jemaat-jemaat dan tersebar di hampir seluruh daerah kepulauan Maluku.
Dalam perjumpaan agama dengan kebudayaan (adat) setempat ini, nampak sikap negatif yang di perlihatkan oleh agama terhadap budaya lokal. Yakni pada tahun 1960-an dan 1970-an, terjadi peristiwa pengahancuran benda-benda agama suku Kei yang menurut pemahaman masyarakat setempat memiliki kekuatan magis. Suatu peristiwa yang sungguh memberi penilaian negatif terhadap gereja dengan tindakannya. Akibatnya ada sebuah pengalihan atau perubahan pemahaman yang menempatkan benda-benda agama suku sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan magis, berubah menjadi menempatkan benda-benda yang berhubungan dengan gereja  (Alkitab, roti perjamuan dan air bekas baptisan, gedung gereja, dan lain-lain), dianggap bernilai sakral dalam pengertian “keramat” dan memiliki “kekuatan gaib”. Air bekas baptisan misalnya diyakini mempunyai khasiat menyembuhkan dan diberi minum kepada orang sakit.
Pendasaran ajaran Kristen pada awalnya, yang dilakukan dengan metode “hafalan” dengan menghafal pokok-pokok ajaran Kristen seperti: Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, dan Dasa Titah, sepertinya tidak berhasil dengan tuntas pada masyarakat Kei. Hal ini terbukti dengan masih diyakininya agama suku dalam wujud Duan, bahwa semua benda di bumi ini memiliki suatu kekuatan di dalamnya.

Realitas Kehidupan Masyarakat Kei
Secara khusus, keberadaan hidup masyarakat di kepulauan ini mungkin belum banyak dikenal, namun dalam catatan sejarah lokal Kepulauan Kei memiliki keunikan yang terpancar dari kebudayaan lokalnya. Hal ini terlihat dari kekompakan masyarakat Kei yang secara struktural tetap mempertahankan hukum adat tertingginya (Larvul Ngabal) suatau hukum adat yang di dalamnya mengatur semua aspek kehidupan individu (manusia) maupun komunitas atau ohoi. Ohoi adalah satuan pemukiman terkecil (setara dengan kampung/desa).
Inti dari adat-istiadat orang Kei adalah kekeluargaan. Kekeluargaan pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan di Kei yang diikat dengan hukum adat.
Bentuk-bentuk kekerabatan masyarakat Kei  memiliki beberapa kesamaan gagasan dasar yakni sikap hidup kolektif, semangat solidaritas, dan kekeluargaan, mengutamakan suatu persaudaraan yang diikat dalam keluarga. Perjanjian adat mengkondisikan semua orang untuk saling membantu dan mengaggap orang lain sebagai keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi kekeluargaan tanpa membedakan agama.
Hubungan antar pribadi selalu didasarkan atas hubungan “saudara”. Semua orang dilihat sebagai saudara dari satu keluarga. Hal ini jelas dalam struktur keluarga ala Kei lewat istilah “Teen fo teen, yanyanat fo yananat, yaan fo yaan, warin fo warin, yanur fo yanur, mangohoi fo mangohoi.” Ini bermakna bahwa keluarga Kei memiliki struktur yang memaksa setiap anggota keluarga untuk memiliki status sendiri. Inti dari struktur ini adalah menempatan orang tua sebagai atasan dan anak sebagai bawahan.
Budaya Kei pada dasarnya memiliki kesejajaran dengan nilai-nilai kekeristenan. Misalnya, nilai cinta kasih, damai, persaudaraan, suka-cita, solidaritas, dan saling menghargai orang lain tanpa membedakan suku, agama, dan golongan.

Agama Pertama Masyarakat Kei
Menurut Yong Ohoitimur, agama asli di Kei pada dasarnya mengandung unsur-unsur: Animisme, Magi, dan Totemisme. Dalam konteks masyarakat Kei,  terdapat kepercayaan bahwa semua benda di alam semesta memiliki roh. Roh dalam bahasa Keidisebut Duan. Duan dianggap menetap dalam segala benda. Dalam perkembangan, ketika masuknya agama Kristen, Duan itu kemudian mengalami sedikit perubahan dalam penyebutannya menjadi Duad, yang lebih bermakna Tuhan Allah – yang mengalahkan/mendominasi duan-duan lain. Wujud dari animisme dalam masyarakat Kei sampai saat sekarng masih dapat teramati dalam betuk pemberian persembahan (daun siri, buah pinang, tembakau, dan uang logam), yang diisi dalam piring dan diletakan dibawah pohon atau tempat-tempat yang dianggap keramat.
Orang Kei percaya bahwa baik manusia maupun makhluk lain memiliki keahlian (dalam makna duan). Roh itu selalu berusaha mengambil bagian dalam kehidupan manusia dan sebaliknya, maka orang Kei percaya bahwa ia mampu memiliki keahlian untuk mempengaruhi roh manusia/makhluk lain.
Dalam realitas hidup masyarakat Kei, sebagai contoh masyarakat Ohoifau meyakini Ikan Puring sebagai Totemnya, orang Ohoidertutu menerima penyu sebagai totemnya, bahkanfam/marga tertentu juga memiliki totem sendiri, dan sebagainya. Orang Kei percaya ada hubungan khusus antara obyek-obyek tertentu, seperti: ikan, burung, tumbuhan, dan sebagainya dengan dunia ilahi. berdasarkan keyakinan seperti ini, orang Kei menyebut ikan suci, rumput suci, burung suci, dan sebagainya. Terhadap obyek suci itu orang harus menghormatinya.

Kesimpulan
Kesimpulan yang saya ambil dari beberapa fakta di atas adalah bahwa orang Kei masih mengakui adanya suatu kekuasaan ilahi yang sakral di luar yang profan. Sebagian ritus-ritus di atas hanya kemukakan sebagai contoh, untuk menggambarkan bahwa masuknya agama-agama dunia di Kei, tidak serta-merta menhilangkan kepercayaan atau agama suku dari masyarakat tersebut. Kehadiran gereja dalam kasyarakat Kei, memiliki nuansa yang sama seperti yang tergamarkan dalam adat, baik itu dari segi hukum Tuhan, maupun dari segi hubungan antar manusia, etika (sistem kekerabatan budaya Kei). Meskipun demikian, disadari bahwa kebudayan memiliki kekhasan dan penegasan sendiri. Kita perlu mengakui bahwa dalam kehidupan sekarang ada kebiasaan-kebiasaan adat dan peraturan yang tidak dapat dicocokan begitu saja dengan ajaran gereja. Akan tetapi keduanya tetap merupakan hal yang saling melengkapi dan mengatur tata keidupan masyarakat Kei.


2 komentar: